Hari sudah menjelang sore ketika Rumondang tiba di tepian pantai. Cuciannya tampak sebakul. Sebetulnya ia tak pernah lagi menyuci di danau. Tapi, sudah tiga hari ini air PAM macet. Katanya ada batu besar longsor dan menimpa pipa besarnya sehingga bocor. Maka tak heran pula jika warga beramai-ramai turun mandi ke danau.
Setelah menyelesaikan cuciannya, Rumondang segera menceburkan dirinya ke dalam danau. Tubuhnya terasa sejuk. Sudah lama pula ia tak berenang meski sering bermain ke tepian pantai. Sejenak ia ’marlange-lange biang’ atau gaya renang punggung. Namun saat kepalanya menengadah ke atas, matanya melihat seekor elang berputar-putar di udara. Persis di atas kepalanya. Suaranya membuat bulu romanya berdiri. Sesayup-sayup burung itu mengeluarkan suara ‘hulis-hulis’. Menurut orang-orang tua, suara seperti itu biasanya suatu pertanda atau firasat kurang baik. Dan kenyataannya, pesan satwa itu sering terjadi. Dan Rumondang sendiri pernah mengalaminya. Dua tahun lalu, ia mendengar suara elang seperti itu sambil berputar-putar di atas rumahnya. Tiga hari kemudian bapakudanya meninggal dunia.
Perasaan Rumondang semakin tak enak. Penyakit bapak belakangan ini kambuh lagi. Mereka sepertinya sudah kehilangan akal. Sedang dokter mengatakan kalau bapak sebetulnya tidak punya penyakit apa-apa. Berbagai obat pun telah dikomsumsi. Berobat kampung juga sudah. Tapi hasilnya susah ditebak. Tidak stabil.
“Oh, Tuhan. Jangan dulu Engkau panggil bapak ke pangkuanMu. Kami belum sempat membahagiakannya. Kami masih terlalu mudah untuk dia tinggalkan. Bila Engkau berkenan, sempatkanlah beliau melihat kami berumahtangga. Terserah kehendakMu, aku atau itoku Poltak. Kalau pun Engkau kelak menjemputnya, biarlah terlebih dahulu beliau menyandang status “sari matua”. Mohon Tuhan, jika Engakau tak berkenan hingga usia ‘saur matua’,” bibir Rumondang komat-kamit berdoa.
Cepat-cepat ia berkemas. Saat mengumpulkan cuciannya, rekannya Nella segera menegurnya. ”kok buru-buru kali kau eda?. Tadi bang Charles mengajak kita raun-raun ke Batu Gantung dengan speedboat barunya,” ajak Nella.
“Kalian sajalah eda. Aku masih banyak tugas di rumah,” sahut Rumondang sambil mengangkat keranjang cucian ke atas kepalanya.
Perlahan kakinya beranjak meninggalkan tepian pantai. Sementara elang tadi sudah hilang. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan keluarga kami, bisik Rumondang sambil mempercepat langkahnya.
Oh, Tuhan….apa gerangan yang terjadi? Darahnya terkesiap. Bulu romanya sontak berdiri. Rumahnya tampak ramai. Jangan-jangan…., Rumondang tak sanggup lagi meneruskan kalimatnya.
“Bapakkkk…apa yang terjadi dengan bapak,” jerit Rumondang dan tanpa sadar menghempaskan bakul cuciannya.
“Tenangkan dulu pikiranmu, eda. Tadi Amangboru pingsan. Poltak dan Namboru serta beberapa tetangga sudah melarikan Amangboru ke rumah sakit,” ujar salah seorang tetangganya sambil mengusap-usap kepala Rumondang.
Air mata Rumondang bercucuran. ia telah membayangkan yang tidak-tidak mengenai kondisi bapaknya. Karena tak sanggup, ia mangandungi, menangis sekeras-kerasnya.
“Jangan tinggalkan kami pak. Kami tak sanggup. Oh Tuhan, kenapa tak Engkau dengar doaku,” jerit Rumondang sambil margelei. Tubuhnya berguling-guling di atas lantai. Tiba-tiba pandangannya berkunang-kunang. Dunia seperti berputar-putar. Sudah itu ia tak tahu apa-apa lagi. Jatuh pingsan.
SEMENTARA itu, jauh di seberang benua, cuaca kota Amsterdam tampak cerah. Bunga tulip mulai mekar berwarna-warni. Moolen berputar seolah mengiringi perjalanan waktu. Tapi di rumah Marlina suasananya tidak secerah udara kota itu. Ranto tampak ribut dengan ibunya, Marlina. Sementara Paul dan Bianca diam membisu di meja makan. Sedangkan Ranto sibuk mengemasi kopernya.
“Jadi, maksudmu apa sebetulnya,” ujar Marlina pada anak lelaki semata wayangnya itu.
“Ya, saya mau ke Danau Toba”
“Mau lihat paribanmu itu? Mama tak suka. Kalau mau liburan ke Spanyol aja atau Paris. Kamu bisa ajak Anne,” ujar Marlina mencoba menghalangi kepergian Ranto.
“Nee mam. Tidak. Aku sudah janji sama Rumondang. Saya harus ke Danau Toba”
“Sudah…sudah, mam. Biarkan anak kita menuruti keinginannya. Kalau dia cinta sama maen kita itu, ya sudah.” ujar Paul menenangkan hati istrinya.
“Lantas, Anne nantinya bagaimana. Dia sangat cinta sama Ranto”
“Tapi aku kan tak cinta sama dia. Mama saja yang suka sama Anne”
“Dengar dulu Ranto. Perkawinan darah yang terlalu dekat tidak baik terhadap keturunan nantinya”
“Dulu mama cerita kalau banyak orang Batak yang kawin berpariban. Tidak ada masalah apa-apa kok”
“Ehe, najugulan nian on,” ujar Marlina tanpa sadar mengucapkannya dalam Bahasa Batak. Maksudnya, Bengal atau keras kepala.
“Mam, please mam. Rumondang sudah menungguku di Danau Toba”
“Pokoknya aku tak suka kamu pergi”
“Tapi Rumondang kan maen mama”
“Tak perduli” Sumber : batapkpos-onlineDOTcom
0 komentar: on "cintaku tinggal di danau toba"
Posting Komentar